Orang bijak berkata "Knowledge is Power, Information is Power". Dengan ilmu pengetahuan, seseorang bisa menilai, memilah, membantah dan mempengaruhi orang lain. Demikian halnya dengan informasi, seseorang bisa mengarahkan dan bisa pula menyesatkan orang lain. Dalam hal ini, kejelasan sumber, validitas dan keandalan menjadi kata kunci. Orang yang menyebarkan informasi palsu (hoax), mungkin bisa mempengaruhi golongan awam, tapi jelas tidak akan mempan untuk kaum terpelajar. Tetapi menjadi kewajiban kita untuk memagari umat islam agar tidak tersesat. Dan agar mereka tahu bahwa masih ada harimau didalam hutan.
Pada masa awal islam, para shahabat cenderung memiliki kepercayaan penuh kepada sesama shahabat lainnya saat menerima informasi. Ini disebabkan tingginya tingkat kesalehan serta dekatnya sumber informasi (yakni rasulullah). Mereka bahkan tidak melakukan kroscek karena sangat yakin dengan validitas pesan yang disampaikan. Contoh paling spektakuler, tentu saja adalah kisah tentang peralihan kiblat. Ada sekelompok shahabat tengah melaksanakan shalat berjama'ah, waktu ruku menghadap ke Baitul Maqdis, tapi waktu sujud menghadap ke Baitullah. Gara - garanya, ada seorang shahabat datang dan memberi tahu bahwa arah kiblat sudah dipindah.
Kroscek atas informasi dimasa shahabat mulai terjadi dimasa Sayyidina Umar bin Khathab ra. Beliau tidak meragukan tingkat kesalehan mereka, namun sebagai bentuk kewaspadaan dan kehati - hatian sebelum memutuskan perkara. Pada masa - masa selanjutnya, mulai banyak pihak berdusta atas nama nabi. Mereka membuat dan menyebarkan hadits - hadits palsu, dengan beragam motif. Diantaranya motif politik, untuk memenangkan madzabnya sampai melegitimasi suatu amal tertentu. Melihat perkembangan seperti ini, para ulama ahli hadits memberlakukan metodologi yang sangat ketat dan rumit demi menjaga keshahihan hadits, khususnya pada segi sanad dan matan hadits.
Kami melihat bahwa proses tersebut perlu direkonstruksi ulang. Karena didunia maya, intan dan lumpur itu bercampur baur. Perang opini dan persepsi terus menerus terjadi, sehingga sebagian orang shaleh memilih untuk menyingkir. Persis seperti hukum Gresham dalam konteks sosial "Bad money drives out good money". Namun akibatnya bisa fatal, yakni golongan awam menjadi sangat sulit mencari pihak - pihak yang layak dijadikan pegangan. Orang - orang shaleh itu punya rem dan kendali agar tidak masuk ke area pembohongan dan penipuan, namun tidak demikian halnya dengan orang fasik, sekuler dan liberal. Kebohongan disebar dengan santainya, seolah lupa ada 2 malaikat yang mencatat amalnya.
Proses seperti ini juga menjadi pembuktian tradisi ilmu yang terus berkembang dikalangan para ulama. Bahwa saat dihadapkan pada permasalahan yang urgen, mereka akan hadir serta memberikan pegangan. Umat butuh lebih dari sekedar fatwa, tapi juga rumusan hukum dan kaidah fikih. Pada masa rasulullah, umat islam belajar hukum - hukum perang antara kaum muslimin vs kafir. Pada masa sayyidina Ali bin Abu Thalib ra, umat islam belajar hukum - hukum perang antara sesama kaum muslimin. Pada periode selanjutnya, kita belajar beragam cabang fikih modern. Bukan sekedar fikih thaharah dan fikih muamalat sebagaimana termaktub dalam kitab - kitab klasik, tapi juga fikih demokrasi, fikih responsibilitas dll.
Kami berharap proses interaksi sosial yang berkembang dimedsos bisa mendapatkan perhatian dari para ulama. Agar mereka kaidah standar dalam menerima, mengkonsumsi serta menyebarkan informasi. Mungkin layak dijadikan suatu kajian atau cabang bab fikih tersendiri. Dan harapan kami, isinya bukan sekedar cerita tentang haditsul ifki, tapi lebih aplikatif dan rigit sebagaimana cabang ilmu musthalah hadits. Kalau perlu dirumuskan juga standar yang layak untuk dijadikan perawi, serta pengujian sanad. Karena keberadaan medsos juga merubah pandangan kita tentang sanad, bukan lagi antar thabaqat tapi antar group whatsaap dan channel telegram.
Tentu saja kita tidak sedang membuat standar berat sebagaimana yang dipakai oleh para ahli hadits. Imam Bukhari umpamanya, tidak mau meriwayatkan hadits dari seorang perawi gara - gara beliau melihat sang perawi berbohong kepada binatang piaraannya. Jika menggunakan standar yang dipakai oleh para ahli tarikh, kelihatannya juga masih berat. Butuh waktu lama untuk menetapkan bahwa sesuatu itu benar atau salah. Kita butuh standar dan pegangan untuk kalangan awam saja, sekedar agar bisa membantu menyeleksi siapa para perawi yang layak dijadikan rujukan dan matan yang layak kita percayai. Mirip - mirip dengan standar jurnalistik, dalam kerangka islami.
Kami melihat hal ini sangat urgen sekaligus menantang. Ini adalah ruang kosong yang harus segera diisi agar kaum fasik, sekuler dan liberal tidak semakin merajalela dan leluasa merusak umat dengan penyesatan opini dan informasi palsu. Semoga ada pihak - pihak khusus yang menyampaikan kegelisahan kami kepada para ulama. Merekalah yang diamanahi Allah sebagai pewaris para nabi, yakni mewarisi ilmunya sekaligus mewarisi perjuangannya. Sedangkan kewajiban orang awam seperti kita adalah bertanya kepada mereka. Fas-aluu ahladz dzikri inkuntum laa ta'lamuun.
*Eko Jun
Nasional
Saturday, March 4, 2017
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment