MuslimOnline.Id-
Tulisan Fakhrur Rozi seorang wartawan
Januari 16, 2019 @roziaja
Tiba-tiba kabar duka tentang kepergian Ustadz Surianda Lubis, memenuhi linimasa media sosial dan WhatsApp di telepon saya, 16 Januari 2019, pagi. Ustadz Surianda ini, ulama sekaligus politisi yang baik, santun, dan tidak pernah berbohong dalam menjalankan tugasnya berpolitik. Saya mengenal beliau pada 2008. Setelah ditugaskan sebagai reporter di DPRD Kota Medan. Jabatan beliau saat itu, Wakil Ketua DPRD Kota Medan.
Saat pertama bertemu (2008), kesan pertama terhadap Ustadz Surianda ini memang beda. Politisinya tidak kelihatan, lebih menonjol sisi ulamanya. Tapi ketika wawancara berlangsung, barulah saya paham, ini orang bukan politisi kaleng-kaleng. Sebelum bertugas di DPRD Kota Medan, saya adalah wartawan di kepolisian (kriminal), biasa liputan pembunuhan, korupsi, perampokan, penikaman, penembakan lalu beralih ke liputan politik-pemerintahan. Akibatnya, banyak sekali istilah-istilah di politik-pemerintahan yang tidak saya pahami misalnya KUA-PPAS, Panggar, Pansus, dan LPj, LKPj dan sebagainya.
Tapi Ustadz Surianda selalu terbuka kalau ditanya. “Saya mohon pencerahan ustadz.” Itu kalimat pembuka yang saya sampaikan ke beliau, kalau saya ingin bertanya sesuatu yang tidak saya pahami sama sekali. Saking seringnya wawancara dan masuk ke ruangan kerjanya kala itu, kami jadi sering berseloroh. Namanya selorohnya ustadz, tiap jumpa lalap suruh menikah. Sering kali beliau memotivasi saya menikah. “Sudahlah Bang Rozi, apalagi. Menikahlah. Jangan lagi ditunda, usia makin tambah,” kata Ustadz Surianda dengan gaya dan intonasinya yang khas.
Setahu saya, ada banyak wartawan laki-laki yang dimotivasi beliau untuk segera menikah. Bukan hanya saya. Ustadz Surianda pun selalu memanggil wartawan dengan sebutan Abang, meski wartawan itu usianya lebih muda beliau. Mungkin bentuk penghormatan dan kesantunannya. Saya hanya merespon seadaanya sambil nyengir ala lajang usia 25 tahun. Pada usia 26 tahun 9 bulan, saya menikah.
Cerita lain, pernah suatu kali di bulan Ramadhan tahun 2008, saya ‘terjebak’ oleh Ustadz Surianda. Waktu itu, seperti biasa, saya wawancara di ruangannya. Kemudian waktu Dzhuhur akan tiba. “Ayo Bang Rozi, ikut saya ke Masjid Al Jihad (Jalan Abdullah Lubis),” katanya. Alamak, dalam hati saya, bisa makin lemas puasa hari ini. Mau menolak sungkan. Akhirnya saya pun ikut naik mobil dinasnya. Rencana mau tidur-tiduran di musala DPRD Medan, pun batal. Sampai di masjid Al Jihad, kami pun sholat dzuhur. Setelah sholat, Ustadz Surianda pun memulai kajiannya. Saya lupa soal apa. Tapi jamaahnya ramai. Kaum ibu dan bapak. Sekitar 14.30 WIB, kajian selesai. Alhamdulillah. Lalu kami kembali ke DPRD Medan, saya pun pamit. “Baik Bang Rozi, segera menikah ya. Terimakasih ya,” katanya saat menerima pamit saya itu. Karena sudah ‘kebal’ saya hanya mengangguk siap. Kesempatan jadi ‘ajudan’ ustadz selesai.
Sebenarnya banyak sisi lain Ustadz Surianda yang layak dikisahkan sebagai bahan renungan dan motivasi seorang muslim dan politisi. Sebagai seorang kepala keluarga, suami, dan ayah, beliau sosok yang luar biasa. Kesederhanaannya, adalah teladan bagi banyak orang. Ustadz Surianda juga sosok yang humoris. Ada banyak cerita menarik tentang beliau, seperti soal kawat gigi yang dulu pernah beliau pakai. Sampai ada politisi yang ‘kepanasan’ dengan foto tersenyum Ustadz Surianda, yang tentu saja memperlihatkan kawat giginya. “Kalau seperti ini, anak-anak muda pilih ustadz semua lah,” kata seorang politisi Partai Demokrat saat berseloroh dengan Ustadz Surianda suatu kali di DPRD Medan. Kawat gigi memang pernah booming, dan jadi tren di kalangan anak muda saat itu.
Ustadz Surianda pun pernah digadang dan dilirik sebagai Wali Kota Medan atau Wakil Wali Kota Medan oleh sejumlah partai kala itu. Sebagai politisi, Ustadz Surianda memang mengalami naik-turun mengikuti dinamika politik. Tapi, tidak begitu Ustadz Surianda sebagai ulama. Beliau terus menebar ilmu di berbagai tempat. Sejak beliau tak lagi di DPRD Medan (2014), saya tak pernah pula bertemu muka dengan beliau. Saya hanya melihat beliau di media sosial atau spanduk pengajian di masjid-masjid Kota Medan.
Soal dinamika politik Ustadz Surianda Lubis, saya tahu hanya sedikit. Sebab, dia bukan politisi yang suka ribut. Apalagi untuk urusan internal di partainya. Makanya, ketika pada Pemilu 2014 dia ‘dibuang’ partainya ke daerah pemilihan Simalungun – Siantar, Surianda manut saja. Dia tak mau cerita soal urusan internal partainya ke wartawan. “Kami ini tak boleh meminta Bang Rozi. Apa yang diberikan, harus dijalankan,” kata Ustadz Surianda suatu kali. Memang Simalungun adalah tempat Surianda dilahirkan. Dia semakin berisi menjadi ulama, setelah menempuh perkuliahan di IAIN (sekarang, UIN Sumut). Surianda adalah alumni Fakultas Tarbiyah.
Sejak Ustadz Surianda kembali sangat aktif berpolitik, mungkin setahun terakhir, saya pula yang sudah jarang ‘beredar’ di lapangan. Belakangan saya tahu, beliau kembali ditunjuk menjadi Ketua DPD PKS Kota Medan, jabatan yang pernah beliau pegang pada 2008 silam. Saya juga tahu beliau, maju sebagai caleg di Dapil Medan 2 untuk DPRD Sumut pada Pemilu 2019 ini. Saya pikir, nanti saja ketika beliau dilantik sebagai anggota DPRD Sumut, bertemunya. Saya hanya mau bilang, “Ustadz, sekarang anak saya sudah dua, isteri satu. Alhamdulillah.”
Tapi Allah SWT punya ketentuan lain untuk Ustadz Surianda. Selamat jalan ustadz, semoga dapat bertemu, ustadz…. #AlFatihah. (AC/16/1/19)
Sumber : Facebook
Nasional
Wednesday, January 16, 2019
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Semoga allah menempatkan ustadz ditempat yg terbaik di sisi allah subhana wata'ala
ReplyDelete