MuslimOnline.Id-
Oleh : DR. Masri Sitanggang.
Isu Syariat Islam mencuat lagi di negeri ini setelah terkubur selama, paling tidak, masa Orde Baru. Ini berawal dari Sidang Umum MPR tahun 1999. Ketika itu Partai Bulan Bintang (PBB) yang merepresentasikan sebagai pengemban missi partai Islam *Masyumi* masa lalu, mengusulkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta _“dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknyanya_ dikembalikan ke dalam pasal 29 UUD 45; yang kemudian dipertegas dan diramaikan lagi pada sidang tahunan MPR 2001 di mana PPP juga ikut _nimbrung_ mengusulkan. Sayangnya, PPP waktu itu mundur di tengah jalan.
Partai Bulan Bintang memang belum berhasil karena jumlah anggotanya di DPR kalaitu masih terlalu kecil. Tetapi yang menarik, sejak itu upaya ke arah penerapan Syariat Islam terus muncul di berbagai daerah di Indonesia. Dari itu kemudian muncul istilah Perda Syariah, yang sesungguhnya tidak tepat untuk digunakan. Tidak ada Perda Syari’ah di Indonesia. Yang ada, adalah Perda (nama) kota/kabupaten. Peraturan itu sendiri disusun (idealnya) berdasarkan nilai yang berkembang di tengah masyarakat : mungkin bersumber dari nilai-nilai agama atau nilai adat kebiasaan. Jika peraturan sudah tersusun, maka perda yang muncul tidak lagi disebut sebagai Perda Agama atau Perda Adat, melainkan perda nama daerah di mana ia diberlakukan. Contoh : Peraturan Daerah Padang Panjang No.3 Tahun 2004 Tentang Pencegahan Pemberantasan dan Penindakan Penyakit Masyarakat, Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Selatan No. 4 Tahun 2004 Tentang Larangan Pebuatan Prostitusi, Tuna Susila, dan Perjudian serta pencegahan perbuatan masksiat dalam Wilayah Kabupaten Lampung Selatan, dll. Jadi, sekali lagi, tidak ada Perda Syarah.
Isu syariah kembali riuh lantaran Ketua Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Greace Natalia, secara serampangan bertekad untuk menolak Perda Syariah. Melalui Sekjennya, PDIP yang selama ini nampak kurang bersahabat dengan yang beraroma Syariat, pun ikut pula memberi dukungan kepada PSI. Apakah mereka tidak faham bahwa sesungguhnya Perda Syariah itu tidak ada, atau mereka bermaksud melawan/menolak setiap nilai (norma hukum) Islam yang masuk dalam sistem perundang-undangan Negara ? Jika yang dimaksud adalah menolak nilai-nilai (norma hukum) Islam masuk dalam sistem perundang-undangan, maka itu berarti mereka sedang mengingkari pasal 29 UUD 1945, bahwa Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya. Lebih dari itu, sesungguhnya mereka sedang menabuh genderang permusuhan terhadap Islam.
*Mengapa Ummat Islam memperjuangkan Syariat ?*
_Pertama,_ bahwa setiap muslim berkewajiban menjalankan semua perintah serta meninggalkan semua larangan Allah dan Rasul-Nya sebagai konsekuensi dari Syahadat yang diikrarkannya. Penolakan seeorang muslim terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya, dapat berakibat pada batalnya ikrar Syahadat itu dan mengeluarkannya dari Islam. Simaklah Al quran Surah Almaedah ayat 44, 45, 47 dan 50 serta Surah Al Ahzab ayat 36.
Oleh sebab itu, adalah sangat berbahaya jika ada undang-undang atau peraturan di negeri ini yang bertentangan dengan Syariat Islam. Karena yang demikian itu berarti umat Islam di paksa untuk memilih antara taat kepada Allah dan Rasul-Nya, atau taat kepada negara yang menentang Allah dan Rasul-Nya. Tentulah ini pilihan yang amat sulit dan dapat berimplikasi sangat buruk untuk NKRI.
Oleh sebab itu pula, perjuangan penerapan nilai-nilai (Syariat) Islam adalah merupakan keniscayaan agar hukum dan perundang-undangan di Indonesia selaras (atau setidaknya, tidak bertentangan) dengan nilai-nilai Islam. Dengan demikian, umat Islam bisa menjadi warga Negara yang baik sekaligus yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya; bukan warga negra yang baik tetapi khianat kepada Allah dan Rasul-Nya; dan bukan pula menjadi muslim yang baik tetapi sekaligus memberontak terhadap negaranya.
Di dalam ajaran Islam, ada perintah atau larangan Allah dan Rasul-Nya yang hanya dapat terlaksana atau dapat dilaksanakan secara sempurna, jika ada campur tangan pemerintah semisal hukum perdata dan pidana. Maka dalam hal ini negera / pemerintah perlu diberi kewenangan untuk membantu melaksanakan ketentuan-ketentuan / kewajiban Syariat Islam bagi pemeluknya, agar dengan demikian terpenuhi rasa keadilan dan kenyamanan masyarakat dalam bernegara dan beragama (Islam). Pencantuman kalimat _dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya_ yang diperjuangkan untuk kembali masuk dalam pasal 29 UUD sekarang ini-- sesungguhnya adalah peemberian kewenangan kepada pemerintah untuk malaksanakan Syariat Islam di kalangan ummat Islam.
Maka, penentangan terhadap masuknya nilai-nilai (norma) Islam dalam sistem hukum di Indonesia, adalah sikap permusuhan terhadap Islam yang dapat menghancurkan kesatuan dan kesatuan bangsa yang tidak boleh ditolerir.
_Ke dua,_ penerapan Syariat Islam adalah hak sejarah kaum muslim Indonesia. Syariaat Islam bukanlah barang baru di Indonesia. Ia pernah berlaku, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka Syariat Islam telah menjadi hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat, yakni ketika nusantara ini masih diperintah oleh sultan-sultan. Penjajah Portugis dan Belanda secara perlahan membungkam pelaksanaan Syariat Islam, khususnya Syariat yang bersifat yuridis, melalui politik hukum yang memanfaatkan hukum adat melebihi hukum (Syariat) Islam, sehingga diberlakukan keadaan yang oleh Bismar Siregar diistilahkan dengan Tuhan yang beradat.
Kebijakan penjajah yang seperti itu bukanlah hal yang aneh, sebab tujuan kedatangan mereka ke Nusantara ini memang dalam rangka menaklukkan negeri-negeri Islam sebagai pelampiasan kekalahan mereka selama berabad dalam Perang Salib. *W. Bonar Sijabat* (dalam KH Saifuddin Zuhri, (1979 : _Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia_ ) menerangkan bahwa takluknya kerajaan Islam di Granada (Spanyol) dan berhasilnya Colombus mendarat di benua Amerika membuat Spanyol dan Portugis tiba-tiba masuk kepada suatu lonjakan sejarah yang maha hebat. Paus Alexander VI membagi dua kekuasaan di bumi ini : belahan Barat untuk Spanyol dan belahan Timur untuk Portugis. Maka, ibarat kuda yang lepas dari tambatannya, dengan segala perlengkapan dan persiapan perang yang matang, Portugis melancarkan perang ke wilayah Timur termasuk Indonesia.
*Hamka,* (1976 : _Sejarah Ummat Islam IV_ ) mencatat, penyerbuan ke negeri-negeri Timur lebih besar karena dorongan kemenangan dan penyiaran agama (Kristen) ketimbang keinginan berniaga. Ini dibenarkan oleh *TB. Simatupang* (1989, _Iman Kristen dan Pancasila_ ) katanya :
_Orang-orang Portugis datang ke Indonesia dengan suatu pengertian teologi dan politik di balik tujuan mereka untuk mematahkan kekuatan ekonomi orang Islam (yang menguasai perdagangan dari Indonesia ke Eropa), dan menduduki wilayah negeri-negeri lain dalam nama raja Portugal serta memenangkan penduduk negeri-negeri itu untuk Gereja Roma Katolik"_
Inilah sepenggal pidato *Alfonso de Albuqurque,* panglima perang Portugis, di depan pasukannya ketika akan menyerang Kesultanan Malaka :
_Adalah satu pengabdian maha besar dari kita kepada Tuhan apabila kita telah dapat mengusir orang Arab dari daerah ini kelak, sehingga nyala pelita ajaran Muhammad itu padam dan tidak akan bangkit lagi untuk selama-lamanya."_
Begitu pula Belanda yang membawa serta missionaris Protestan, mengikuti nasehat *J.P.G. Westholff,* yakni :
_untuk tetap memiliki jajahan-jajahan kita untuk sebahagian besar adalah tergantung dari pengkristenan rakyat yang sebahagian besar belum beragama atau yang telah beragama Islam._
Dalam kerangka itulah dapat dimahami, mengapa para pahlawan pergerakan nasional itu adalah orang-orang Islam, para kiyai dan santri. *T.B. Simatupang* menuturkan, pada kurun waktu tahun duapuluhan, di mana sedang terjadi kebangkitan nasional untuk mengusir Belanda, hubungan gereja-gereja dengan gerakan kebangsaan berada pada kondisi yang kritis. Orang-orang Kristen yang menjadi nasionalis (yang berarti menentang Belanda pen) dianggap oleh gereja sebagai tidak lagi orang-orang kristen yang baik.
Jadi, tidak dapat dipungkiri, sesungguhnya perang melawan penjajah Portugis dan Belanda adalah lebih didasari dan dimotivasi oleh ideologi, mempertahankan dan memerdekakan kehidupan yang Islami. Dalam kerangka seperti itu pulalah dapat dipahami mengapa para pendiri Republik ini menyatakan kemerdekaan sebagai berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa”; dan menorehkan kalimat KeTuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya…” pada dokumen Asli pembukaan UUD 1945 yang dikenal dengan Piagam Jakarta itu. Tidaklah mungkin kalimat seperti itu lahir secara tiba-tiba, melainkan ia adalah merupakan perwujudan dari cita-cita yang dirindukan, yang memotivasi perjuangan para syuhada sehingga rela mengorbankan harta dan jiwa.
Maka, upaya-upaya untuk menghempang berlakunya nilai-nilai Islam dalam kehidupan berbangsa di tanah air sekarang ini dapat dipahami sebagai kelanjutan missi penjajah yang anti Islam. Oleh karena itu, dapat dinilai sebagai gendetrang perang yang ditabuh oleh penjajah baru dari bangsa yang berbeda.
_Ke tiga,_ perjuangan penegakan Syariat Islam adalah hak demokrasi Ummat Islam. Reformasi yang digulirkan sejak 1998 lalu itu menghajatkan kepada suasana demokrasi sebagai tandingan bagi suasana otoriter rezim Orde Baru. Semua kelompok masyarakat di pelosok negeri ini boleh dan dijamin haknya untuk menyampaikan dan memperjuangkan aspirasinya dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, tidak terkecuali Ummat Islam. Oleh karena itu, perjuangan mengembalikan tujuh kata dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya ke dalam UUD negara, sebagai bentuk berlakunya Syariat Islam bagi pemeluknya di Indonesia, adalah hak demokrasi ummat Islam yang, tentu saja, tidak boleh siapa pun menghalanginya apalagi merampasnya. Ummat Islam harus sadar akan hak ini, dan harus menggunakan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya.
_Ke empat,_ sesungguhnya (dalam pengertian umum) Islam itu adalah syariat yang sumbernya Al-quran dan Sunnah Nabi. Dia adalah sistem tananan hidup yang menjadi rahmatan lil alamien. Maka harus dipahami bahwa, Islam akan menjadi rahmat bagi semesta alam hanya jika syariatnya diberlakukan; dan Islam akan sama saja dengan agama lain tidak menjadi rahmat bagi semua alam, jika syariatnya tidak berlaku.
Dalam konteks membangun kehidupan bermasyarakat dan bernegara, tentulah diperlukan peraturan/perundang-undangan yang dapat menjadi rahmat bagi semua warga termasuk alam semesta. Peraturan perundang-undangan yang demikian itu hanya dapat dirumuskan dari sumber hukum yang memang menjamin kehidupan yang harmoni. Sekarang ini hukum positip di Indonesia bersumber dari hukum barat, hukum adat dan hukum agama. Sesungguhnya sebaik-baik hukum positip, adalah yang bersal dari hukum yang hidup di tengah dan diyakini oleh masyarakatnya, bukan yang diadopsi/diambil dari hukum yang asing dari masyarakat itu. Islam (sebagai sebuah syariat} adalah hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat dan diyakini oleh sekitar 88 % rakyat Indonesia sebagai _rahmatan lil alamien._ Mengapa kita tidak merumuskan hukum positip dari sumber ajaran Islam ?
Orang mungkin bertanya, untuk apalagi memperjuangkan Syariat Islam, tokh di negeri ini orang sudah bebas melaksanakan keyakinan agamanya ? Atau, bagaimana Syariat Islam dapat dijalankan oleh negera di negeri yang majemuk dari segi budaya dan agama ini; tidakkah ini akan menimbulkan sikap diskriminatif ?
*Yusril Ihza Mahendra* melihat ada tiga katagori hukum, yakni hukum di bidang peribadatan, hukum private dan hukum publik.
Di bidang hukum pribadataan, memang tidak ada masalah. Tidak ada sangkut pautnya dengan negara. Ada atau tidak ada Piagam Jakarta, orang Islam memang sudah harus shalat karena itu kewajiban. Negara tidak boleh mengintervensi soal itu. Tugas negara adalah membantu lancarnya pelaksanaan peribadatan itu dengan menyediakan sarana dan prasana.
Di bidang private, justeru perlu ada kemajemukan hukum. Dalam hal ini memang tidak boleh diseragamkan. Hukum perkawinan, misalnya hanya sah kalau dilakukan mengikuti tatacara agama masing-masing, tidak boleh diseragamkan. Jadi, kemajemukan penganut agama di Indonesia bukanlah halangan.
Sementara di bidang hukum publik, Islam merupakan sumber hukum. Kaedah-kaedah hukum dan norma-norma/nilai-nilai ajaran Islam perlu ditransformasi menjadi hukum positip sehingga Islam betul-betul menjadi rahmat bagi semesta alam.
_Wallahu alam bish shawab._
No comments:
Post a Comment